Gorontalo 16 Agustus 2014
Sebagian
dari kita mungkin memandang banjir besar yang melanda Toili sejak minggu, tanggal 10 Agustus 2014 adalah hal yang
wajar karena bertepatan dengan musim hujan yang sering terjadi setiap tahunnya
dibulan agustus, sebagian lagi memandang bahwa banjir yang terjadi di Toili
adalah murni musibah yang memang tidak bisa kita tebak kapan datangnya dan
kapan pula berakhirya. Namun demikian, apabila kita mencoba melihat bencana ini
dengan paradigma yang lebih tepat, maka kita akan melihat bahwa banjir yang
melanda Toili adalah bentuk peringatan keras yang bersifat universal dari alam
semesta untuk kita renngkan bersama. Bencana banjir yang menimpa kecamatan
Toili beberapa waktu lalu tentunya sudah cukup membuat mata, pikiran dan hati
kita tercengang, bahwa tak satupun dari kita sempat menyangka kalau hujan yang
selama ini selalu disambut riang oleh anak-anak kecil saat bersorak sorai mandi
dan bermain dibawah derasnya hujan, kini berubah menjadi petaka dan bencana.
Meski
bencana banjir ini tidak menelan korban jiwa, akan tetapi kerugian materi
berupa harta benda, rusaknya lahan pertanian dan perkebunan, rusaknya areal
permukiman, dan terhambatnya aktivitas perekonomian warga, tentunya menambah
deret panjang dampak buruk yang diakibatkan bencana banjir ditanah yang dulunya
hijau nan asri seindah Toili.
Sebongkah
kekhawatiran dan kecemasanpun sontak menghantui dan menghinggapi pikiran saya
sesaat setelah melihat status dan foto-foto kondisi banjir di Toili yang
diunggah dalam berbagai media social oleh salah seorang alumni HMB(Himpunan
Mahasiswa Batui) dan beberapa adik-adik mahasiswa yang berasal dari kecamatan
Toili. bagaimana tidak, kita semua pasti bersepaham bahwa saat damainya hutan
yang mulai terusik dengan bisingnya alat berat industry, saat pohon besar terus
bertumbangan oleh keangkuhan pemodal dan penguasa, saat banjir badang, tanah
longsor, dan gempa bumi mulai berdatangan silih berganti, maka kita akan sadar
bahwa uang bukanlah segalanya sementara itu, kitapun sadar betul bahwa
kecamatan batui adalah kecamatan yang secara geografis berbatasan langsung
dengan kecamatan toili, dimana areal kawasan hutan, pegunungan dan sungai yang
ada di toili terintegrasi langsung dengan wilayah kecamatan batui. Sehingga
ketika toili diterjang banjir karena kerusakan hutan dan struktur tanahnya,
maka kondisi yang sama akan sangat rentan terjadi dikecamatan batui, dan ini
berarti masyarakat batui wajib waspada.
Banjir
yang melandana kawasan toili sesungguhnya tidak bisa kita pandang hanya sekedar
musibah biasa, apalagi sampai berdalih bahwa itu adalah bagian dari siklus alam
yang sifatnya alamiah. Karena banjir yang sudah menimpa kawasan toili mungkin
saja akan menimpa kita yang berada dikecamatan batui, esok hari atau dikemudian
hari nanti. Banjir yang terjadi ditoili harus kita pahami sebagai tanda, penanda, dan pertanda kemurkaan
dari alam didaerah kita yang mulai keropos dan rusak demi melanggengkan
kepentingan modal dan penguasa. Keberadaan tambang emas dalam beberapa tahun
terakhir mulai merusak struktur tanah diwilayah kecamatan toili dan meluasnya
persebaran kawasan perkebunan sawit yang mengakibatkan penyempitan atau
mengecilnya kawasan hutan yang pada akhirnya berdampak pada berkurangnya
kualitas dan fungsi hutan. Dimana saat terjadi curah hujan yang cukup lama maka
hutan yang seharusnya berfungsi sebagai pecegah banjir dengan kerapatan pohon
pada areal yang cukup luas, tidak lagi bisa menyerap air dengan baik. Kondisi
ini bisa saja tidak begitu jauh berbeda dengan kondisi hutan dan struktur tanah
dikecamatan batui dewasa ini. Kalau ditoili punyamesin perusak alam dengan
dampak ekologi yang cukup besar seperti sawit dan tambang emas, mka kitapun
harus berbangga hati kerena memiliki PT. Sawindo cemerlang dan PT. DS LNG yang
paling tidak akan menjadi factor penting yang berpeluang dan berkemungkinan
besar akan memberi dampak yang sama bagi anak cucu kita suatu saat nanti.
Oleh
karena itu, mulai saat ini marilah kita saling mengingatkan antara sesama putra
putri batui, mulai dari pemerintah, masyarakat adat, dewan lembaga adat, tokoh
agama, tokoh politik, dan seluruh pemuda kecamatan batui untuk menyatukan tekad
demi mendahulukan kepentingan bersama dari sekedar hasrat pribadi. Bahwa saat
ini, sudah seharusnya kita memposisikan diri untuk selalu vis a vis
(berhadap-hadapan) dan melakukan pengawalan serta pengawasan yang massif
terhadap berjalannya dua kekuatan modal besar yang bercokol ditanah tercinta
kecamatan batui. Para aktivis pemuda berusahalah untuk tetap menjaga ritme
nafas perlawanan, agar tidak mudah kelelahan apalagi sampai PODUT( kehabisan
nafas dalam bahasa batui) ketika berhadapan dengan tawaran pihak perusahaan
yang tak jarang cukup menggiurkan. Mulai dari tawaran uang yang banyak, sampai
pada tawaran jabatan strategis dalam perusahaan. Jangan sempai dendam
kemiskinan yang telah sekian lama terpendam kemidian meluluh-lantahkan niat
suci kita untuk menjaga dan melestarikan hutan batui. Berusahalah sekuat
mungkin untuk tidak menjadi bagian dari mereka yang mencoba hidup mewah dengan
cara merusak alam dan tanah batui karena anjing yang ganas sekalipun tak akan
pernah menggigit bahkan menggongong tuan yang memberinya makan terus menerus.
Kita bukanlah generasi yang anti pembangunan daerah, kita bukan pula generasi
yang alergi dengan industrialisasi, kita adalah generasi yang tidak ingin hanya
karena sayhwat kesejahteraan dan kemakmuran lalu kemudian melumpuhkan
sendi-sendi adat dan moral terhadap alam yang telah menghidupi kita, dan
terhadap hutan dengan pepohonannya yang tanpa kita sadari telah sekian lama
menjadi sumber oksigen bagi kelangsungan hidup kita hari ini. Sehingga diujung
dari tinjauan moral ini, kita akan
mendapati anak cucu kita satu saat nanti bisa mengangkat kepalanya dengan tegak
dan bangga karena tanah dan hutannya tetap terjaga ditengah gempuran perkebunan
sawit dan industrilisasi MIGAS Di Batui,,,,, SEMOGA!
Sumber Foto : Mongabay.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar